Sebuah desain tidaklah terasa selesai kalau di dalamnya tidak ada sebuah pengakhiran yang umumnya menggunakan aksen sebagai unsurnya. Untuk membayangkan maksud aksen sebagai “penyelesaian desain”, kita dapat membayangkan sebuah ruang interior yang sangat netral dengan dominasi warna monokromatis putih dihampir semua elemen interiornya, mulai dari lantai, dinding, langit-langit, bahkan sampai pada elemen furniture dan elemen estetisnya.
Bagaimana rasanya? Tidakkah terasa monoton dan terasa begitu datar tanpa sebuah “pengakhiran”? nah, kalau kemudian kita coba masukkan elemen warna merah yang mencolok pada set sofa lengkap dengan bantal-bantalnya yang berwarna merah hati. Bagaimana nuansa ruang tersebut saat ini?
Coba sekarang bayangkan mata kita menyapu pandang ke seluruh ruang. Dimanakah kira-kira arah pandangan mata kita berakhir? Pada sofa merah tadi bukan? Ya, inilah yang disebut sebagai aksen. Aksen warna merah disini menjadikan ruang terasa lebih bermakna, lebih “selesai” dengan sebuah ending bernuansa lebih hangat.
Aksen Memberi Nuansa Kuat
Seperti contoh di atas, maka warna merah menjadi “penanda” dan focal point pandangan mata kita, atau pusat perhatian visual mata kita. Nuansa ruang monokromatis putih tadi tiba-tiba sekarang tidak lagi netral, namun jauh terasa menjadi hangat dengan hadirnya aksen warna merah sofa. Bagaimana jika warna set sofa kita ganti dengan turunan warna hijau daun serta bantal-bantal berwarna hijau apel dan kuning. Bisa Anda jelaskan sekarang, bagaimana nuansa ruang yang terbentuk dengan aksen tadi? Inilah salah satu fungsi utama dari aksen, sebagai penanda, pemberi makna yang kuat terhadap nuansa, tema, dan inspirasi sebuah ruang.
Kompisi Sebuah Aksen
Mungkin kita akan bertanya, seberapa jauh aksen itu boleh muncul dalam sebuah ruang. Bolehkah aksen tersebut berulang? Atau bolehkah aksen itu tersiri lebih dari satu jenis? Atau, elemen interior apa saja yang sebaiknya dijadikan sebuah aksen?
Kunci keberhasilan suatu keindahan yang tercipta melaui aksen adalah dengan memunculkan semacam sebuah kejutan atau penanda, sehingga terjadinya pengulangan terhadap sebuah aksen justru dapat melemahkan kekuatan makna yang tercipta karena ketunggalannya. Melihat sebuah aksen harus dilakukan sebagai kesatuan yang dapat terdiri dari beberapa jenis atau elemen, namun hal itu tetap terasa satu terutama bila ditunjang dari penempatannya yang tidak terpisah dengan lainnya.
Sebuah ranjang putih dengan bantal berwarna merah dan coklat tua yang mencolok, diperkuat dengan sebuah dinding yang tepat berada di belakangnya berwarna berbeda dengan dinding yang lain. Bila ditambahkan dengan cahaya yang sinarnya jatuh di atas ranjang, akan tercipta sebuah aksen yang sangat kuat dan menarik dalam sebuah kesatuan ruang.
Jika pertanyaannya, apakah semua elemen interior bisa menjadi aksen? Jawabannya tentu saja bisa, namun harus berada dalam sebuah komposisi dan kesatuan yang tepat. Bila terlalu kecil, aksen tersebut tidak bisa dijadikan sebagai “penanda”, sebaliknya bila terlalu besar dan muncul di beberapa tempat, malah menjadikannya dominan yang tidak lagi menjadi pusat perhatian yang menarik. Jadi, komposisi antara ukuran, jenis elemen, dan kesatuannya menjadikan sebuah aksen dapat menarik atau tidak.